Aku beristirahat. Mata memakan waktu televisi. Ku pikir apa dan kenapa aku begini. Berputar-putar mur tanpa tak pernah mengena. Selalu kendur dan masuk kepada lubang yang sama. Perah semua ingin tak keluar susu. Peras tulang tak pernah ada sumsum. Pontang di jalan memakan umur, muda, tua, sehat, uang, gara-gara Bapak Kota tak tegas. Anak nakal dibiarkan, tak didik. Dibiarkan mengemis, mencuri, merampok, menganggur, setiap hari Bapak Kota bermain-main wanita. Anak mu butuh susu, Ibu Kota tak mampu memberi susu itu. Terlalu banyak anak itu. Bapak Kota, berilah Ibu nafkah agar anak nakal mu terdidik, dan makan. Bapak Kota kasihanlah pada Ibu. Seluruh awal hidup anak nakal sudah ada dalam rahim. Berputar-putar selama 9 bulan. Anak nakal karena tak terdidik. Bukan salah Ibu mengandung, tapi bukan bapak yang salah tidur. Jadi salah siapa? Ibu menerima saja. Meregang nyawa untuk kehidupan anak. Semua telah terlantar. Anak manusia sama saja anak kucing. Bapak Kota membiarkan mereka terlantar. Aku juga membiarkan. Kamu membiarkan. Siapa yang perduli? Manusia menciptakan manusia dengan beban masalah baru. Manusia memakan manusia, dari awal sperma, kita saling membunuh dari tubuh Bapak sendiri. Penciptaan tak akan berakhir, Bapak meraja, dan merayu kembali kepada wanita itu. "Pilihlah Aku! Serahkan pada ahlinya! Coblos kumis Ku! Coblos kumis Ku! Pendidikan gratis! Rumah sakit gratis! Katakan tidak pada korupsi! Gantung saya di Monas! Saya turut prihatin!" Bapak Kota lantang merayu para wanita. Tanpa ragu mereka memilih pria-pria tanpa hidung, tanpa malu. Bapak Kota kini sibuk di kantor, sedang Ibu mencari anak nakal. Bapak Kota yang sangat kejam. Asik pada teman-temannya, Kelompok Biru, Merah, Hitam, Putih, Hijau, Kuning, Kelabu, Abu-abu. Anak mu kini menghilang, termakan jalanan, termakan dirinya sendiri, mencari-cari jati diri. Mereka jajakan badan-badan. Bernyanyi serak kasar. Berulang menaiki bis. Pikiran mereka kotor-kotor debu. Pikirannya singkat seperti Bapak Kota, uang dan uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar